Teks Berjalan

MARI MEMBIASAKAN YANG BENAR, BUKAN MEMBENARKAN YANG BIASA

Sunday, September 30, 2018

Harta dan Jabatan

Harta-Aset atau aktiva menurut Wikipedia adalah sumber ekonomi yang diharapkan dapat memberikan manfaat  usaha dikemudian hari. Aset dimasukan dalam neraca dengan saldo nominal debit.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan, barang milik seseorang. Harta  juga merupakan kekayaan yang  berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki oleh perusahaan.
Selengkapnya
Sudah menjadi suatu fitrah jika manusia menginginkan dan berusaha mencari harta. Hal ini diperlukan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Dengan harta itu, kita dapat membeli semua yang kita inginkan ataupun membiayai segala kebutuhan anak istri kita. Tidak dapat dipungkiri, jika kita tidak punya banyak harta, kita akan merasa kesulitan untuk memenuhi hajat kita. 
Dengan harta, kita dapat mewujudkan suatu keinginan yang belum terpenuhi. Bahkan bagi sebagian orang, harta menjadi motivator dan juga sekaligus  tujuan hidup. Dengan harta, menjadikan kita banyak saudara, tetapi tidak sedikit pula karena harta menjadikan perpecahan dengan saudara.
Selama manusia masih hidup di dunia, maka ia akan selalu memiliki keinginan yang baru tentang pemilikan harta. Bahkan jika ia telah mempunyai satu, maka ia berkeinginan memiliki dua dan seterusnya. Tidak sedikit orang yang rakus akan harta, meskipun pepatah mengatakan ; “haus harta lebih berbahaya ketimbang haus air ”. Dalam sebuah riwayat menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda ; “Seandainya manusia memiliki satu lembah emas, pastilah ia ingin memiliki dua lembah. Dan tidak akan ada yang memenuhi mulutnya kecuali tanah. Dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat” (H.R. Muttafaq Alaih).
Allah SWT menguji manusia diantaranya hidup dengan bergelimang harta dan sebagian lagi hidup dengan kekurangan harta atau yang lazim disebut hidup dibawah garis kemiskinan.
Bagi sebagian orang kaya, mereka biasanya takut jatuh miskin. Karena rasa takutnya ini, ia menumpuk-numpuk harta dengan menghalalkan segala cara. Ia tidak peduli halal atau haram, tidak peduli haq atau bathil, yang penting ia dapat menimbun harta sebanyak mungkin. Bahkan tidak cukup untuk dirinya sendiri akan tetapi ia siapkan juga untuk anak cucunya. Ia persiapkan keturunannya menjadi kaya.
Akibat dari rasa takut jatuh miskin ini, ia terjebak kepada penyakit bakhil/kikir. Ia tidak tergerak hatinya untuk memberikan bantuan/pertolongan kepada mereka yang memerlukan. Efek lain yang dapat ditimbulkan dari perbuatannya ini, maka godaan untuk melakukan tindkan-tindakan yang tidak terpuji ia lakukan. Korupsi, manipulasi, penipuan, pencurian dan lain sebagainya.
Firman Allah SWT dalam Al-qur’an, yang artinya ; “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Yaitu ketika emas dan perak dipanaskan dalam api neraka, lalu diseterikakan ke punggung mereka, sambil dikatakan ; Nah, inilah dia yang kalian simpan untuk diri kalian itu, maka rasakanlah akibatnya !”  (QS At-Taubah : 24-35).
Bagi orang yang bertaqwa, kelebihan harta yang ia punya, tidaklah membuat ia lupa diri, tidak bakhil, tidak uzub, riya dan takabur. Ia menyadari bahwa semua itu hanyalah merupakan titipan.
Jabatan menurut Wikipedia bahasa Melayu adalah sebahagian atau cabang dari suatu organisasi yang besar yang mempunyai tanggungjawab dan fungsi yang spesifik.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jabatan adalah pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi.
Menjadi seorang pemimpin dan menduduki sebuah jabatan merupakan impian bagi semua orang. Akan tetapi, tidak semua orang  dengan jabatannya itu menjadikan hidupnya maslahat. Hanya sedikit orang yang dengan jabatannya itu yang dirahmati oleh Allah dalam memegang jabatannya. Mayoritas orang, justru menjadikan jabatan itu sebagai ajang rebutan, khususnya sebuah jabatan yang sangat menjanjikan untuk menggapai uang/harta, popularitas dan kesenangan dunia lainnya.
Merupakan setali tiga uang antara harta dan jabatan. Orang yang mempunyai jabatan biasanya takut akan kehilangan pengaruh dan kedudukannya, maka ia mengusahakan dengan berbagai macam cara untuk terus berusaha mempertahankan kedudukan dan jabatannya. Dan jabatan yang merupakan amanah untuk dipertanggungjawaban dihadapan pengadilan Ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan kemewahan yang dapat mengancurkan dan membinasakan.
Menjadi pejabat atau pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya. Amirul Mu’minin Umar bin Khattab r.a dalam pidato pertamanya ketika di angkat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar Siddiq r.a yang telah wafat, dengan rendah hati, ia mengatakan ; “Hai manusia,aku telah dipilih menjadi pemimpin kamu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantara kamu. Kalaulah aku tidak melihat keutamaan dan keteguhan yang dapat melindungi kalian, berat rasanya memikul amanah ini. Sebab alangkah beratnya menunggu datangnya perhitungan diakhirat nanti terhadap Umar”.
Ini yang menjadi motif bagi Amirul Mu’minin Umar ketika dilantik menjadi khalifah, bahwa bagi dia, jabatan itu merupakan suatu amanah yang harus ia pertanggungjawabkan dunia dan akhirat kelak. Ia tidak meminta jabatan menjadi khalifah tetapi ia merasa terpaksa menajdi khalifah.
Dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Rasul SAW, bersabda yang artinya ; “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi dalam kepepimimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan”. (HR. Al Bukhari : 7148).
Bagaimana tidak, dengan memegang tampuk pimpinan, seseorang dapat dengan mudah memenuhi segala keinginannya yang bersifat duniawi, baik itu berupa uang, popularitas, status sosial di masyarakat, kemewahan dan kemegahan.
Jabatan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Satu riwayat menyebutkan, Abu Musa r.a berkata ; “aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah menemui Rasulullah shallallahu alaihi sassallam, maka salah seorang dari keduanya berkata, ‘angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’ dan orang yang satunya lagi meminta hal yang sama.
Rasulullah SAW, bersabda ; “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Al-Bukhari : 7149 dan Muslim : 1733).
Jabatan dan kepemimpinan adalah amanat. Artinya, orang yang sedang memangku sebuah jabatan berarti ia sedang memikul sebuah amanat. Tentunya, yang namanya amanat itu haruslah ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga haruslah orang yang pantas dan cakap/ahli dalam bidang yang diembannya.
Pada akhir tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa mereka yang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan, mereka bukanlah orang yang pantas untuk mendudukinya. Karena kelak di hari kiamat, akan menjadikan penyesalan karena ketidakmampuannya dalam mengemban amanah yang sebagaimana seharusnya.
Wassalam...
---oo0---

No comments:

Post a Comment