Teks Berjalan

MARI MEMBIASAKAN YANG BENAR, BUKAN MEMBENARKAN YANG BIASA

Friday, November 30, 2018

Kita Beragama, Kita Berbudaya

Manusia hidup tentu mempunyai dan tidak lepas dari kaidah-kaidah serta norma-norma dari kehidupan itu sendiri. Karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari kepentingan dan kehidupan orang banyak. Masing-masing individu, manusia terikat oleh norma agama dan secara umum manusia memiliki budaya dari setiap masyarakat yang mendiami suatu tempat.
Selengkapnya
Kultur disetiap tempat, tentu berbeda dengan tempat lainnya. Dari perbedaan kultur inilah yang dengan sendirinya membentuk perilaku dan perangai penduduknya juga menjadi berbeda dengan daerah lainnya terlepas dari watak dan kepribadian setiap individu masyarakatnya itu sendiri.
Kita bangsa Indonesia yang hidup dalam keanekaragaman agama, budaya, suku, sosial-ekonomi dan bahkan politik dengan kesadaran tinggi berhasil menyatukan kesemuanya itu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagai bangsa yang beragama dan berbudaya, Indonesia sangat dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dan ini harus kita jaga terus hingga berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya. Karena sejak dahulu, agama dan budaya selaras dengan kehidupan masyarakat dan hal ini sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Agama
Semenjak kedatangannya dahulu, agama senantiasa menyesuaikan diri dimanapun berada. Seperti kata pepatah ; “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Itu artinya agama dapat berbaur dan menyatu dengan masyarakat setempat dengan berbagai adat dan budaya yang beragam tanpa kehilangan identitas.
Sejarah mengungkapkan, ketika para pedagang Gujarat tiba di Kerjaan Samudera Pasai, penduduk setempat menyambutnya dengan tangan terbuka. Para pedagang muslim itu berniaga sambil menyebarkan agama Islam. Mereka menyesuaikan diri dengan para penduduk dilingkungan sekitarnya.
Di Jawa, Penyebar agama Islam terkenal dengan nama Wali Songo (Wali Sembilan). Salah seorang Wali yakni, Raden Sahid atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kalijaga melakukan syiar agama dengan cara yang unik yaitu memadukan unsur budaya dan agama. Meskipun ada sebagian Wali yang tidak setuju dengan cara yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Masyarakat Jawa yang kala itu masih memeluk agama Hindu, Budha dan segala macam tradisi serta adat budaya yang bermacam-macam tidak menjadikan sesuatu hal yang menyulitkan bagi Sunan Kalijaga. Ketika suatu malam di suatu tempat, diadakan pesta syukuran dan mengadakan pagelaran wayang, Sunan tampil sebagai dalangnya. Tema dan lakon yang beliau mainkan diubah menjadi kisah tentang ketauhidan Tuhan.
Masyarakat sangat terkesan dengan kisah dan lakon yang beliau sajikan dan sebagian masyarakat ingin mengetahui lebih dalam tentang agama Islam. Dan pada akhirnya, Islam diterima penduduk dengan sukarela dan lapang dada.
Budaya
Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu ilmu tentang manusia ditinjau dari sudut sejarah kebudayaannya. Merujuk pada budaya Indonesia, kebudayaan kita tentulah sangat berbudaya. Artinya, masyarakat kita saat sudah berpkiran maju dalam menerima suatu hal apapun yang dapat berfungsi lebih baik bagi manusia.
Situs-situs yang banyak terdapat di Indonesia seperti candi Borobudur, Situs Megalitikum Gunung Padang, merupakan bukti-bukti betapa tingginya peradaban dan budaya nenek moyang bangsa Indonesia. Tradisi, adat istiadat, kebudayaan, sekaligus sebagai pemeluk agama dan aliran kepercayaan berjalan seiring sejalan tanpa ganjalan apapun hingga beratus-ratus tahun.
Sejarah panjang bangsa Indonesia telah tercatat bahwasanya agama dan budaya berjalan sangat harmonis dan selalu berdampingan antara satu dengan yang lainnya.
“Namun belakangan ini, ada kasus “benturan”  budaya dan agama ; sesuatu yang tidak terjadi sebelumnya. Budaya yang mengandung nilai spiritualitas dan agama yang membutuhkan budaya sebagai ruang aktualisasi, tiba-tiba seperti berhadapan antara satu dengan yang lain.” Demikian seperti yang dikatakan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin pada acara gelaran “Sarasehan Tentang Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya” di Bantul, Yogyakarta yang diselenggarakan pada tanggal 2-3 November 2018. Demikian  seperti  yang ditulis oleh Khoiron dalam Berita dari situs resmi https://kemenag.go.id
Dialog dan diskusi yang berlangsung selama dua hari tersebut, dihadiri oleh beberapa tokoh dari agamawan, budayawan serta cendekiawan membahas reaktualisasi relasi agama dan budaya sebagai upaya memperkuat relasi agama dan budaya.
Dari pertukaran fikiran dan gagasan itu dapat membuahkan beberapa rumusan Permufakatan Yogyakarta Agamawan dan Budayawan dan menghasilkan beberapa point penting.
Ada tujuh point yang menjadi catatan Menteri Agama terkait Permufakatan Yogyakarta yang ditanda tangani oleh peserta Sarasehan yang akan menajdi perhatian pemerintah, yaitu :
1. Menyatakan prihatin atas terjadinya gesekan dikalangan masyaarakat terkait budaya dan agama.
2. Menyerukan kepada para tokoh agama untuk menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa tujuan akhir dari ajaran agama adalah untuk membentuk akhlak mulia yang dengannya masyarakat berinteraksi sosial secara tertib, toleran, saling menghormati satu sama lainnya, berperilaku sabar dan menahan diri, serta bersyukur atas anugerah keragaman bangsa Indonesia.
3. Menyerukan kepada tokoh budaya untuk terus mengembangkan produk-produk kebudayaan yang menghargai karakter dasar masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai relijiusitas.
4. Mendorong pemerintah untuk mengembangkan model pendidikan yang dapat menciptakan jembatan antara relijuisitas, nasionalitas dan etnisitas bangsa Indonesia.
5. Mendorong pemerintah agar menjadikan karya seni, karya sastra relijiusitas, serta artefak-artefak kebudayaan lokal sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dalam rangka membentuk kebanggan atas identitas keragaman dan kebudayaan bangsa Indonesia.
6. Mendorong pemerintah dan para penyelenggara pendidikan untuk secara sistematis dan berkelanjutan menanamkan ajaran-ajaran moral dasar khususnya bagi anak-anak dan generasi muda tentang nilai kerjasama, tanggungjawab, kejujuran, disiplin, mandiri, dan ajaran untuk tidak menerima sesuatu yang bukan haknya.
7. Menyerukan kepada semua pihak agar melakukan internalisasi nilai dan moral agama secara substantif, menghindari pemikiran diskriminatif terhadap tafsir keagamaan lain, menyadari bahwa keagamaan lain takdir dan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia, serta menjadikan spiritualitas sebagai basis kemanusiaan dan kebudayaan yang otentik.
Demikian semoga hal ini dapat menyadari semua kalangan pihak bahwa keragaman dan kebudayaan bangsa Indonesia menjadikan suatu perekat bagi kesatuan dan persatuan bangsa dari generasi ke generasi yang akan datang.

*******

Cianjur, 30 November 2018

No comments:

Post a Comment